Senin, 21 Maret 2016

HAKIKAT DAN TANGUNGJAWAB KELUARGA

1. Pendahuluan
Keluarga adalah lembaga yang tertua di dunia. Alkitab menyaksikan bahwa Allah sendirilah yang membentuk manusia menjadi satu keluarga. Kemudian Allah memberi ketentuan atau peraturan yang akan ditaati oleh setiap anggota keluarga, sekaligus memperingatkan mereka untuk tidak melanggar ketentuan tersebut (Kej 2: 24; Efs 5: 22-23; 6: 1-4). Selain itu, keluarga juga dianggap sebagai sentrum kehidupan manusia; dalam aktifitas sehari-hari setiap orang berangkat dari keluarga dan kembali kepada keluarga dan bersedia bekerja keras juga demi keluarga.
Menurut Soemadi Tjiptojoewono, setiap orang juga mulai belajar  dari lingkungan keluarga,  dan keluargalah yang pertama menikmati jika seseorang itu berhasil dalam hidupnya. Demikian sebaliknya, keluarga jugalah yang paling menderita dan malu, apabila seseorang dari anggota keluarganya melakukan perbuatan yang tidak baik[1].
Pembentukan keluarga yang terjadi lewat perkawinan memiliki fungsi-fungsi tertentu; ada fungsi reproduksi, fungsi penanaman nilai-nilai, iman kepercayaan, dan fungsi sosial; hal ini adalah sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Demi kelangsungan sebuah keluarga, maka masing-masing keluarga hendaklah mengetahui dan memahami hakikat yang sesungguhnya dari keluarga, serta mengetahui kedudukan, serta hak dan tanggungjawabnya masing-masing, baik dalam hubungannya dengan sesama anggota keluarga juga bagi lingkungannya maupun gereja, bangsa dan negara dan bahkan juga kepada Tuhan sendiri.
2.   Pengertian Dan  Hakekat Keluarga.
a.   Pengertian Secara Umum.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa keluarga adalah unit sosial terkecil di dalam masyarakat, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Tetapi  Craig Dykstra,  sebagaimana dikutip oleh Thomson menyatakan: Keluarga adalah kelompok orang dengan siapa kita berhubungan, baik sebagai orang tua, anak-anak, atau keturunan hasil perkawinan atau adopsi[2]. Sedangkan menurut James Starhan, keluarga adalah kelompok sosial, yaitu suatu hasil dari proses sosial di dalam masyarakat dan merupakan unsur terkecil dalam pembentukan masyarakat[3].
Dari pengertian di atas, maka pengertian keluarga secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu[4]:
1)      Keluarga batih/inti (nuklear family), yaitu kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum memisahkan diri dari keluarga.
2)      Keluarga besar (great family), yaitu kelompok kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak (baik hasil perkawinan atau yang diadopsi), mertua, menantu, cucu, cicit dan sebagianya.
3)      Keluarga yang diperluas (Extended family), yaitu kolega, guru, anak didik, organisasi dan sebagainya.
Namun dalam tulisan ini yang mendapat sorotan dibatasi pada keluarga batih atau keluarga inti.
b.   Dari Sudut Teologis (Alkitab).
Dalam Alkitab, keluarga yang diawali oleh perkawinan, disebut dengan persekutuan yang dipersekutukan oleh Allah, dan  yang tidak dapat diceraikan (dipisahkan) oleh manusia, kecuali karena kematian dan zinah (Kej 1: 27-28; Mat 19: 5-9)[5]. Di dalam PL, pengertian keluarga dihubungkan dengan seluruh anggota keluarga, baik dari masa lalu hingga masa kini; yang masih hidup dan yang sudah mati. Hal tersebut dapat digambarkan dalam garis keturunan.
Dalam PL, istilah yang menunjuk keluarga adalah syebet artinya suku, mispakha artinya kaum, dan bayit artinya keluarga (Yos 7: 16-18). Dalam PB, istilah yang menunjuk pada keluarga adalah patria, menekankan asal-usul keluarga dan lebih menunjuk pada bapak leluhurnya (Luk 2: 4; Kis 3: 25). Istilah oikoV  dan oikia, yang berarti rumahtangga, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, juga para hamba, budak, pelayan dan sesama (Mat 21: 33 ff; Kis 10: 7)[6].
Dalam hal ini William Sheek, sebagaimana dikutip Thompson  menyampaikan suatu defenisi tentang keluarga dalam kerangka iman, yakni: “Sebagai saudara dalam keluarga Allah, kita menerima setiap orang sebagai keluarga tanpa membeda-bedakan, baik mereka yang dihubungkan dengan hasil perkawinan, yang diadopsi, mereka yang bujangan serta mereka yang hidup menyendiri atau dengan orang yang memilih menjadi anggota keluarga lain di luar keluarga mereka sendiri”[7].
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa keluarga merupakan pemberian Tuhan, dan Dia sendirilah sebagai pusat atau kepala keluarga melalui Anak-Nya Yesus Kristus (Efs 5: 23), dan kita sendirilah (anggota keluarga) sebagai anak-Nya yang menjadi saudara-saudari (bersaudara) di dalam Kristus (Familia Dei).
c.   Hakikat Keluarga
Hakikat keluarga adalah kesatuan dari semua anggota keluarga dimana ayah, ibu dan anak-anak dipersatukan di dalam persekutuan yang sesungguhnya. Masing-masing anggota keluarga merasakan bahwa mereka adalah bagian integral (yang  utuh dan tak terpisahkan) satu sama lain; dan masing-masing mempunyai tanggungjawab demi keutuhan keluarga itu sendiri[8]. Keluarga merupakan konteks pembentukan pribadi seseorang, namun setiap orang yang telah dibentuk dalam keluarga juga dapat dipengaruhi oleh lingkungannya, misalnya lingkungan sekolah, teman bermain, tempat bekerja, gereja, kelompok masyarakat, kebudayaan, dll[9]
Khusus bagi keluarga Kristen, semua anggota keluarga harus disucikan dan dikuasai oleh Yesus Kristus, sehingga keluarga itu menjadi taat dan bertumbuh di dalam tangan Tuhan, yaitu sebagai pribadi yang luhur. Dengan demikian segala gerak-gerik mereka akan ditentukan oleh kepercayaan dan pengalaman kekristenan mereka di dalam Tuhan.
Sebuah  keluarga tidak terlepas dari kehidupan persekutuan yang lebih luas, yakni gareja dan masyarakat. Gereja adalah kumpulan dari berbagai keluarga Kristen, yang dipersatukan di dalam tubuh Kristus (I Kor 10: 16-17). Keluarga sebagai anggota tubuh Kristus terbuka kepada keluarga lainnya dengan saling menghargai dan mengasihi di antara mereka. Dengan demikian sebagai anggota persekutuan gereja, maka setiap keluarga harus sadar akan tugas dan panggilannya di tengah-tengah persekutuan, yaitu dengan meneladani pekerjaan dari Tuhan Yesus sebagai kepala jemaat (Mat 25: 31-46).
Selain itu, keluarga juga tidak terlepas dari ikatan hidup bersama anggota masyarakat lainnya. Untuk itu setiap keluarga Kristen seharusnya menjadi “garam” dan “terang” di tengah-tengah masyarakat; ikut serta menaati peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat melalui para pemimpin atau pemerintah (Rom 13: 1-7). Sebab sikap dan perilaku setiap anggota keluarga dalam masyarakat adalah mencerminkan keadaan keluarga tersebut di hadapan Tuhan.
3.   Tangungjawab Masing-masing Anggota Keluarga
a.   Tangungjawab Orang Tua (Ayah Dan Ibu)
Secara umum tugas dan tanggungjawab orang tua (ayah dan ibu) di dalam keluarga, menurut J. Verkuyl ada tiga hal, yakni:[10]
1).  Mengurus keperluan jasmani anak-anak
Salah satu tugas orang tua yang paling mendasar adalah mengurus keperluan jasmani anaknya. Orang tua bertugas memperhatikan kebutuhan fisik anak-anaknya seperti memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dll.
2).  Menciptakan suasana at home bagi anak-anak
Setiap orang senantiasa berusaha menciptakan suasana kemesraan, kasih sayang, keramahtamaan dan keamanan bagi keluarga khususnya bagi anak-anak.
3).  Penyelenggara Pendidikan bagi anak-anak
Mendidik anak-anak ke jalan yang benar, baik melalui pendidikan jasmani dan rohani. Yang paling pokok dalam hal ini adalah paidia kuriou, artinya pendidikan yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus dengan perantaraan orang tua. Ayah dan ibu mengajar dan mendidik anak-anak di bawah pimpinan dan pengawasan Tuhan sesuai dengan Firman-Nya, agar anak-anak tersebut kelak menjadi pengikut Kristus (bnd. Rom 8: 29; I Kor 15: 29, Efs 5: 22-25)
Menurut Andar Ismail, orang tua mempunyai tugas dan tangungjawab rangkap, yaitu sebagai guru dan sekaligus sebagai imam di dalam keluarga. Dalam hal ini tugas orang tua adalah mendidik anak-anaknya melalui pekerjaan, ucapan (oral), perbuatan (action) dan hidup keteladanan (spiritualitas)[11]. Secara khusus tangungjawab seorang ayah  selain bertindak sebagai kepala rumah tangga, juga bertanggungjawab mencari nafkah untuk seluruh anggota keluarga, membimbing dan mengarahkan serta melindungi keluarganya, serta berusaha menciptakan suasana kedamaian dan hidup bersama di dalam keluarga.Sedangkan seorang ibu, selain sebagai pendamping suami dalam tugas tersebut di atas, juga bertugas dan bertanggungjawab untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak, memberi nasehat dan menghibur setiap anggota keluarga. Selain itu, seorang ibu juga bertugas untuk mengatur keuangan keluarga dan ikut serta menjaga ketenteraman dalam keluarga[12].
Dengan melaksanakan tugas dan tanggungjawab tersebut di atas, maka orang tua telah melaksanakan dan merealisasikan tugas dan tanggungjawab (mandat) yang diberikan Allah sesuai dengan Firman-Nya.
b.   Tanggungjawab anak.
Kewajiban dan tangungjawab seorang anak adalah menaati dan menghormati orang tua. Menghormati dapat direalisasikan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengakui dan menghargai wibawa orang tua, mengakui bahwa mereka (orang tua) telah ditugaskan Allah untuk mendidik setiap anak dalam keluarga; mendengarkan dan melihat motivasi positif di balik nasihat dan larangan orang tua, mengakui dan memaklumi kelemahan dan kekurangan mereka, sekaligus mengakui keunggulan (dalam bidang pengalaman) mereka dan sebagainya[13]. Dengan melakukan hal-hal tersebut di atas, maka seorang anak juga telah melaksanakan dan merealisasikan  Hukum Tuhan, Hormatilah ayah dan ibumu, supaya engkau berbahagia dan lanjud umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu (Kel 20: 12).
4.   Masalah Dan Alternatif Pemacahan Masalah Dalam Keluarga
a.   Masalah-masalah
Dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, setiap keluarga selalu diperhadapkan dengan tantangan dan hambatan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar keluarga itu sendiri. Beberapa di antaranya adalah:
1).  Kurangnya komunikasi dalam keluarga.
Hal ini sering terjadi karena setiap anggota keluarga sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berkumpul bersama, sebab masih banyak keluarga yang sama-sama kerja namun tidak bekerjasama. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan disharmoni dalam keluarga, dan bahkan sangat berpotensi menimbulkan keretakan dan perpecahan dalam keluarga.
2).  Pembagian peranan dalam keluarga yang tidak seimbang.
Di dalam keluarga pada umumnya ibu ditempatkan untuk mengurus anak. Apabila si anak menjadi “nakal/pemberontak”, maka Si-ibulah yang paling sering dipersalahkan.  Akan tetapi jika si anak sukses, seperti menjadi “sang juara”, maka biasanya sang ayah-lah  yang akan dipuji (“anak siapa dulu dong…!”). Di sini tampak seolah-olah tanggung jawab mengurus anak dan rumah tangga hanyalah menjadi tanggungjawab ibu, sementara ayah tidak (kecuali jika anak berhasil). Sebenarnya si anak akan bertumbuh dengan baik, jika ayah maupun ibu secara bersama-sama bertanggungjawab terhadap pendidikan dan pembentukan karakter dan kepribadian anak di dalam keluarga.
3).  Kurangnya Spiritualitas Keluarga.
Hal ini diakibatkan oleh kurangnya penghayatan terhadap iman, dimana Yesus Kristus sebagai sumber kehidupan. Masing-masing anggota keluarga mempunyai kesibukannya sendiri, akibatnya keluarga tersebut tindak pernah melakukan doa bersama, mengikuti kebaktian secara bersama-sama. Padahal Allah sendirilah sumber dari segala yang baik dan bukan hanya atas dasar usaha manusia (Rom 11: 36).
4).  Masalah Ekonomi.
Keluarga yang tidak memiliki pendapatan yang menetap, juga dapat menimbulkan keretakan dalam keluarga. Demikian juga bila orang tua tidak dapat mengatur keuangan, khususnya dalam hal pengeluaran. Hal ini juga berpotensi menimbulkan konflik dalam keluarga. Masalah kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga juga sering untuk mendatangkan konflik di tengah-tengah keluarga. 
5).  Pengaruh dari lingkungan atau masyarakat.
Hal ini berhubungan dengan poin yang pertama, yakni apabila dalam keluarga tidak ada komunikasi yang baik, maka secara khusus bagi anak yang tidak mendapat perhatian dari orang tua, akan mudah terpengaruh oleh lingkungan yang buruk; seperti pengaruh narkoba, judi, minuman keras, kebebasan seksual, bahkan sampai dengan tindak kriminal.
6).  Pengaruh Perkembangan IPTEK.
Dengan hadirnya IPTEK yang telah memasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat, juga dapat mempengaruhi setiap keluarga, baik orang tua  maupun anak-anak. Seperti berkurangnya nilai-nilai kemanusiaan; misalnya anggota keluarga disibukkan dengan informasi dari internet, VCD dan tempat-tempat hiburan lainnya, sehingga waktu untuk melakukan sharing, dialog dan pendidikan dalam keluarga menjadi berkurang dan bahkan sering terabaikan.
b.    Penanggulangan
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh:
1).   Setiap anggota keluarga harus saling terbuka dan saling memperhatikan. Dalam hal ini makna komunikasi dalam keluarga sangat besar peranannya.
2).   Perlu mengadakan persekutuan/kebaktian dalam keluarga, yang dilakukan dalam setiap harinya, kemudian dilanjudkan dengan sharing, merenungkan Firman Tuhan dan berdoa bersama. Pada kesempatan ini juga setiap permasalahan diselesaikan secara bijaksana dalam kasih dan penuh kekeluargaan. Selain itu satu keluarga juga perlu mengikuti kebaktian secara bersama-sama di gereja.
3).   Mengenai masalah ekonomi, setiap anggota keluarga perlu dengan terbuka untuk mencari jalan keluarnya. Orang tua hendaklah berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, seperti dengan membuat anggaran yang diperlukan untuk kelangsungan hidup keluarga. Selain itu setiap anak juga harus diajar untuk hidup sederhana dan menerima keadaan yang ada, jika perlu untuk mengencangkan ikat pinggang. Namun perlu diingat pola hidup sederhana, hemat, yang dimulai dari pihak orang tua, tentu sangat berpengaruh terhadap anak.
4).   Untuk mengatasi pengaruh lingkungan dan perkembangan IPTEK, maka orang tua perlu memberi waktu dan perhatian  yang cukup  pada setiap anak. Orang tua hendaklah berusaha untuk menciptakan suasana penuh kasih sayang di tengah-tengah keluarga. Orang tua perlu menerangkan apa akibat yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan IPTEK dan obat-obat terlarang bagi kehidupan manusia. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka setiap anak di dalam keluarga diharapkan akan dapat bertumbuh menjadi seorang yang dewasa  iman, yang tangguh dan yang tidak dapat diombang-ambingkan oleh roh-roh zaman.
5.   Kesimpulan
a.    Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, keluarga berfungsi sebagai tempat dan lingkungan pembelajaran yang pertama bagi setiap orang, baik yang berhubungan dengan pembentukan rohani, fisik dan emosi para anggota keluarga; bahkan guru yang pertama bagi setiap anak adalah orang tua.
b.    Setiap anggota keluarga harus benar-benar memahami kedudukannya serta apa yang menjadi hak dan kewajibannya (tangungjawabnya) di tengah-tengah keluarga, dan juga di luar keluarga itu sendiri. Sesuai dengan kesaksian Firman Allah, adapun peraturan Allah terhadap setiap anggota keluarga dapat diringkaskan sebagai berikut:
-        Peraturan Allah kepada anak, dalam hubungannya terhadap orang tua adalah:  ketaatan dan menghormati orang tua  (Kel 20: 12; Kol 3: 20).
-        Peraturan Allah kepada orang tua, dalam hal hubungannya terhadap anak adalah: mengasihi, menertibkan dan mendidik atau mengajar anak dalam terang Firman Tuhan (Ul 6: 6-9; Yos 24: 15.b; Efs 6: 4; Kol 3: 21; Ibr 10: 26-27,30-31; 12: 5-8).
-        Sedangkan peraturan Allah dalam hal hubungan antara suami dan istri adalah, Isteri harus tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan (Efs 5: 22). Namun sebaliknya suami harus mengasihi isteri, sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat-Nya  dan telah menyerahkan diri-Nya (Efs 5: 25).
-    Peraturan Allah dalam hal hubungan antara sesama anak, adalah hidup rukun (Maz 133: 1-3).
c.   Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab masing-masing, setiap anggota keluarga harus menyadari, bahwa tugas tersebut adalah mandat atau amanat yang datang  dari Tuhan Yesus, dan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Setiap anggota keluarga hendaklah melaksanakan fungsinya di tengah-tengah keluarga dengan rasa suka cita, tulus, murni, merdeka serta rela berkorban dan bukan dengan paksaan, sebagaimana teladan yang diberikan Yesus Kristus.
d.   Dalam keluarga, sebaiknya/perlu disediakan waktu bersama untuk berkumpul dan berkomunikasi di antara anggota-anggota keluarga. Waktu berkumpul ini adalah waktu untuk saling berbagi  rasa dan saling mendengarkan pengalaman-pengalaman hidup masing-masing anggota keluarga. Sekecil apapun cerita pengalaman seorang anggota keluarga akan menjadi indah jika hal itu diketahui bersama. Dan sebaliknya, seberat apapun permasalahan yang dialami salah satu anggota keluarga, akan terasa ringan jika ditanggung bersama. Waktu bersama itu dapat menjadi kesempatan untuk saling mengingatkan, menasehati dan saling menguatkan satu terhadap yang lain.
Syarat dari komunikasi yang baik adalah kesediaan untuk mendengar. Hal ini untuk sementara terasa sulit bagi orang yang tidak terbiasa, karena masih ada beberapa orang tua yang terbiasa berbicara dengan nada memberi komando, menasehati, menegur dengan kekerasan. Kesediaan ini mesti datang dari perasaan kasih, mengasihi antara seorang terhadap yang lain. Tanpa upaya mendengar ini, yang timbul adalah sikap acuh tak acuh, “mendengar” tetapi tidak mendengar.
Kesediaan mendengar dimulai dalam hubungan antara ayah dan ibu, anak dan orang tua, dan anak dengan sesama anak. Orang tua tidak perlu merasa berkuasa atas diri anak, dan karenanya  berhak mengatur  segala sesuatu dalam kehidupan si anak. Anak-anak juga perlu didengarkan, sebab  anak bukanlah robot yang dapat dibentuk dan digerakkan sekehendak hati orang tua. Pada akhirnya makna komunikasi yang dialogis dalam keluarga sangat berpotensi tumbuhnya suatu keluarga yang sehat dan bahagia.



[1] Soemadi Tjiptojoewono, Pengantar Pendidikan, (Surabaya: University Press IKIP, 1995), hlm. 225.
[2] Lih. M.L. Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan, (Jakarta: BPK-GM, 2000),  hlm. 28.
[3] J. Strahan, “Family”, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol V, J. Hasting (ed), (New York: Charles Scribner’s Sons, 1995),  hlm. 723.
[4] Band. A.G. Pringgodigdo (ed), Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1997),  hlm. 544.
[5] Bnd. G.Lindsay, Marriage, Divorce And Remmariage, Christian For The Nations, (USA: tp, 1976),  hlm. 12.
[6] D.W.B. Robinson, “Keluarga, Rumah Tangga”, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I; J.D.    Douglas (ed), (Jakarta: YKPK, 1997), hlm. 536-539.
[7] Lih. M.L. Thompson, Op-Cit, hlm. 28.
[8] E.G.Homrighausen & I.H. Enklar, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995), hlm. 144-145.
[9] M.L. Thompson, Op-Cit, hlm. 11.
[10] J. Verkuyl, Etika Kristen: Seksuil, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,  1993),  hlm. 174-189.
[11] Andar Ismail, Selamat Ribut Rukun, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1997), hlm. 90-92.
[12] J. Verkuyl, Op-Cit, hlm. 169-173.
[13] Ibid, hlm 190-197, bnd. Andar Ismail, Op-Cit,  hlm. 58-61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar